17 Februari 1908, tokoh legendaris itu lahir. Ia memang sudah tiada, namun karya-karyanya yang ramai dibincangkan dan dibaca membuat kita merasakan kehadirannya di tengah pentas kehidupan bangsa kita hari-hari ini. Buya Hamka, Ulama kharismatik itu perlulah kita telisik bagaimana ia menjadi hebat.
Sobat Saladin semuanya, Hamka mendapatkan pendidikan agamanya mulai usia 7 tahun bermula di Sekolah Dasar Maninjau. Namun tak sampai usai, kemudian di usianya yang 10 tahun, ayahnya mendirikan Sekolah Thawalib di Padang Panjang. Di situlah Hamka untuk pertama kali mendalami bahasa Arab.
Beliau memang tak tamat sekolah dasar, namun kemampuan autodidak-nya membuat Hamka menjadi referensi bagi kawan-kawan dan bahkan orang-orang tua. Sejak kecil sudah dilahapnya ilmu Filsafat, sastra, sejarah, sosiologi hingga politik. Banyak literatur penting Timur dan Barat yang jadi teman perjalanan Hamka di masa mudanya.
Tahukah kamu? Bahwa Buya Hamka ini pernah mendapatkan amanat menjadi Ketua MUI tahun 1977. Namun beliau mengundurkan diri pada tahun 1981 karena saat itu penguasa meminta MUI untuk mencabut fatwa haram natal bersama.
Dalam soal akidah, Buya Hamka bersikap kokoh. Tak berkompromi. Namun dalam masalah cabang beliau sangat toleran. Hal itu tercermin dalam salah satu episode ketika beliau shalat subuh berjamaah bersama KH Idham Chalid (Ketua Umum PBNU 1956-1984) dan Hamka yang mengimami. Pada rakaat kedua beliau membaca Qunut (Sabili, 21/02/2008) Ini menarik, sebab membaca Qunut tak biasa dilakukan Hamka sebelumnya.
Namun diantara banyak keistimewaan Buya Hamka, yang paling digemari oleh Admin adalah imbangnya kekuatan kata dan tulisan beliau. Suatu keistimewaan yang jarang dimiliki oleh banyak ulama di zaman ini. Atas berbagai prestasi, karya tulis dan kontribusinya, Buya Hamka diberi gelar Doktor Honoris Causa oleh Universitas Al Azhar Mesir tahun 1958 dan Universitas Kebangsaan Malaysia tahun 1974.
Post a Comment
Post a Comment